Tingkatan Puasa, Menurut Guru Besar Ilmu Tasawuf
Tingkatan Puasa, Menurut Guru Besar Ilmu Tasawuf

1741070894Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga perjalanan spiritual menuju kedekatan dengan Allah SWT. Dalam bukunya Spritualitas Ibadah: Memahami Keindahan dan Kedalaman Makna Shalat, Puasa, Zakat dan Haji” Prof. Yunasril Ali, Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menjelaskan bahwa ada 3 Tingkatan Puasa, yang menentukan kualitas spiritual seorang Muslim. (temukan koleksi buku ini >>)

1.) Puasa Tingkatan Pemula (‘Umum)
Puasa tingkatan pemula atau kalangan awam terdiri atas dua kelompok. Pertama, kelompok orang yang berpuasa karena pengaruh lingkungan semata sehingga puasanya layak disebut puasa tradisi. Ia berpuasa karena pengaruh orangtua atau masyarakat sekitarnya yang telah menjalani puasa secara turun-temurun. Karena orang banyak berpuasa, ia ikut-ikutan berpuasa. Ia tidak punya pengetahuan sedikit pun tentang puasa, dan sebagainya. Baginya, ia merasa cukup hanya dengan berpuasa. Puasanya tidak akan berdampak apapun kecuali lapar dan dahaga. Kedua, adalah orang yang berpuasa disertai pengetahuan tentang dasar-dasar puasa, seperti syarat rukun, dan yang membatalkan puasa. Jadi, puasa yang mereka lakukan sah dan sesuai dengan arahan syariat. Hanya saja, mereka hanya mementingkan keberagamaan lahiriah, belum memasuki tujuan kehidupan beragama yang sesungguhnya. Karena itu, puasa seperti ini dikategorikan sebagai puasa umum atau puasa pemula (bidayah), karena baru memenuhi kriteria dasar pelaksanaan puasa.

Menurut al-Ghazali, puasa tingkatan umum ini ditandai upaya menahan perut dan syahwat. Sebagian ulama menyebut puasa tingkatan ini dengan sebutan puasa syariat, karena pelakunya mementingkan penegakan aturan syariat. Apabila aturan syariat telah ditegakkan, kewajiban pun selesai. Ia sama sekali tidka memikirkan apakah puasanya berdampak kepada tercapainya ketakwaan atau tidak, dan apakah puasa membuatnya mampu mengendalikan diri di hari-hari selain Ramadhan atau tidak.

Selain berusaha memenuhi syariat, orang pada tingkatan puasa umum juga ingin mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya. Motivasi untuk mendapatkan pahala sangatlah penting bagi para pemula, karena bagi mereka, kebahagiaan adalah kebahagiaan fisikal. Setiap orang pasti akan berupaya meraih kebahagiaan yang didambakannya. Dambaan para pemula adalah kebahagiaan fisikal. Karena itu, Nabi Muhammad SAW., membangkitkan semangat ibadah mereka dengan balasan material. Ali bin Abi Thalib mengibaratkan mereka sebagai pedagang yang menghendaki keuntungan dari setiap transaksinya. Atau, mereka bagaikan anak-anak yang bersemangat melakukan sesuatu jika dijanjikan hadiah. Misalnya, seorang anak akan bersemangat menyelesaikan PR jika dijanjikan akan mendapat hadiah.

2.) Puasa Tingkatan Khusus
Menurut al-Ghazali, perbedaan antara tingkatan umum dan tingkatan khusus terletak pada pengekangan diri yang dilakukan masing-masing. Sementara, kalangan khususs berpuasa dengan menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, disertai menahan diri dari segala perbuatan buruk. Ia menahan mata, lisan, telinga, kaki, tangan dan anggota tubuh lainnya dari keburukan.

tingkatan Puasa (1)Pada tingkatan ini, orang yang berpuasa tidak hanya mengendalikan anggota tubuhnya dari makan, minum dan senggama, tetapi lebih luas lagi mengendalikan syahwat psikologis dari berbagai hal yang merugikan manusia. Karena itulah Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan kotor dan perbuatan kotor maka Allah SWT tidak punya kepentingan apa-apa pada puasanya dari makan dan minum.” HR. Bukhari.

Ada juga yang menyebut tingkatan menengah ini dengan sebutan tarekat (tareqah) yangs ecara harfiah berarti jalan. Namun, jalan yang dimaksudkan di sini tidak sebesar jalan raya (syari’ah), karena jalan itu hanya ditempuh oleh segelintir orang yang menghasratkan kedekatan kepada Allah SWT. Mereka biasa disebut salik. Menurut Sayyid Haydar Amuli, keselamatan di jalan dapat diraih jika salik mampu mengendalikan lima indra batinnya selama perjalanan.

  • Pertama, salik harus mengendalikan kekuatan pikiran sehingga tidak memikirkan perkara yang tidak bermanfaat atau apa pun yang tidak memberinya kebaikan. Pikiran diciptakan untuk mengantarkan manusia dalam perjalanan menuju tujuan akhir. Dengan demikian, sudah semestinya kita mempergunakan pikirna sesuai dengan fungsi penciptaannya.
  • Kedua, salik harus mengendalikan memori sesuai dengan fungsi penciptaannya, yaitu untuk memelihara pengetahuan (makrifat) tentang Allah SWT, pengetahuan rasional, dan pengetahuan lainnya. Memori merupakan lemari penyimpanan untuk pikiran. Pikiran diciptakan untuk memikirkan sesuatu, dan hasil pemikiran itu kemudian disimpan dalam memori. Dan tentu saja, simpanan yang paling pantas disimpan di lemari itu adalah makrifat Ilahi.
  • Ketiga, salik harus mengendalikan kekuatan imajinasi agar tidak digunakan pada sesuatuyang tidak sesuai dengan fungsi penciptaanya. Kekuatan imajinasi tak semestinya dipergunakan untuk mengimajinasikan sesuatu yang tak diizinkan oleh Allah SWT., karena hal itu berarti pelanggaran terhadap fungsi penciptaan. Imajinasi dapat dikendalikan dengan zikir kepada Allah SWT, dan zikir kepada Allah SWT dikendalikan oleh pikiran. Sementara, pikiran berada di bawah akal, yang merupakan pembantu manusia.
  • Keempat, salik harus mengendalikan kekuatan ilusi agar tidak melahirkan kebencian terhadap seseorang atau suatu kelompok. karena itu, sebagaimana imajinasi, ilusi harus dikendalikan oleh zikir.
  • Kelima, salik harus mengendalikan indra penggabung -yang menghimpun ilusi dan imajinasi- agar tidak mempertunjukkan bentuk dan makna kepada jiwa, karena hak itu akan menghambat perjalanan spiritual.

 

3.) Puasa Tingkatan Istimewa (khusush al-khushush)
tingkatan PuasaTingkatan akhir (nihayah) yang menjadi puncak capaian manusia dalam perjalan menuju Allah SWT. Bagi orang yang telah mencapai tingkatan ini, selain mengendalikan diri dari segala yang membatalkan puasa, ia juga harus mengendalikan nafsu psikologis agar tidak memikirkan segala sesuatu selain Allah SWT.

Tingkatan akhir ini, disebut juga tingkatan tahaqquq (pembuktian) atau haqiqah (hakikat). Hakikat merupakan penghayatan atas syariat. Atau dengan kata lain, syariat adalah bentuk lahiriah sesuatu, sementara hakikat adalah makna batinnya. Jika syariat puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya menurut hukum maka hakikat puasa adalah pengendalian diri untuk menjaga martabat kemanusiaan.

Orang yang mampu menembus hakikat adalah orang arif (ahli makrifat), atau kalangan khawwash al-khawwash, karena puncak hakikat adalah pencapaian makrifat. Hakikat hanya bisa ditembus dengan terbukanya selubung (kasyf) antara hamba dan Tuhannya.

Puasa tingkatan hakikat adalah puasa ruhani, sementara puasa yang didasarkan atas aturan formal adalah puasa syariat. Namun, antara syarit dan hakikat senantiasa tak dapat dilepaskan satu sama lain. Karena itu, hakikat tidak mungkin ada tanpa syariat dan syariat menjadi hampa tanpa hakikat.

Dalam rumusan kaum sufi dikatakan: “Setiap syariat tanpa hakikat hampa, dan setiap hakikat tanpa syariat batal”.

*RMr


Untuk update berita dan informasi lebih lanjut, bisa di akses:

WA Channels Perpus
Go Library Perpus