Information Is Everywhere, Experts Are Few: Bring Your Academic Success with Information and Digital Literacy
Ditulis oleh Nuryaman, S.Ptk (Pustakawan Perpustakaan Riset Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta)
"Information is Everywhere, Experts Are Few"
Quotes from Information School, University of Toronto: "Informasi ada di mana-mana, tapi hanya beberapa yang ahli (menggunakannya)." Kutipan ini menggambarkan situasi saat ini di mana informasi tentang satu topik saja dibahas dalam puluhan bahkan ratusan publikasi, terutama di media digital. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana seorang individu bisa mendapatkan informasi yang relevan dengan kebutuhannya? Apakah harus membaca satu-per-satu? Atau meminta orang lain melakukannya?
Digitalisasi informasi secara signifikan berpengaruh terhadap kebiasaan berinformasi akademisi di perguruan tinggi. Populernya istilah “elektronik” mendorong masyarakat kampus untuk membiasakan diri dengan referensi digital. Awalnya, dosen, mahasiswa, dan peneliti mungkin lebih dominan menggunakan buku dan artikel jurnal cetak yang tersedia di perpustakaan. Untuk mendapatkannya pun harus berkunjung langsung ke gedung perpustakaan, dan jika mengalami kesulitan, mereka bisa meminta bantuan pustakawan yang bertugas di tempat.
Hari ini, penggunaan rujukan buku dan artikel tersebut telah bertransformasi menjadi e-book dan e-journal yang diakses melalui internet. Penggunaan sumber elektronik ini tentu berbeda dengan material cetak. Pencarian sumbernya pun tidak bisa hanya mengandalkan katalog dan koneksi internet atau peralatan canggih semata. Diperlukan keterampilan untuk menelusuri, menyaring, dan menggunakan informasi secara efektif dan efisien. Keterampilan inilah yang disebut dengan literasi informasi.
Lebih jauh lagi, literasi informasi ini dapat dikombinasikan dengan literasi digital untuk meningkatkan kemampuan menganalisis dan mensintesis informasi digital, yang dalam sehari saja mencapai sekitar 402,74 juta terabyte data (Duarte, 2023). Dari sini kita menyadari bahwa membaca satu per satu sumber informasi di Internet bukan solusi. Terutama mahasiswa dan peneliti yang terikat waktu, biaya dan tenaga, penelusuran informasi harus sebisa mungkin cepat dan akurat.
Memperoleh informasi yang relevan dengan cepat dan akurat tidaklah mudah. Hal ini ditandai dengan munculnya istilah “kemiskinan informasi,” yaitu kondisi di mana seseorang atau sebuah komunitas tidak memiliki keterampilan, kemampuan, atau sumber daya yang cukup untuk mengakses, memahami, dan menerapkan informasi dengan tepat (Britz, 2004). Kemiskinan informasi bukan hanya berkaitan dengan ketersediaan informasi yang melimpah saat ini, tetapi lebih pada keterbatasan pengguna dalam memanfaatkan informasi tersebut.
Contohnya di universitas, mahasiswa bisa ditegur oleh dosen pembimbingnya karena jumlah rujukan dalam proposal risetnya sangat minim dan sudah ketinggalan zaman. Padahal, kampus tempat mereka berkuliah memiliki lebih dari 40 ribu judul buku, langganan e-resources, dan online repository. Ditambah lagi dengan sumber elektronik open access, pencarian berbasis kecerdasan buatan, dan banyak database akademik nasional maupun internasional.
Situasi ini sering terjadi akibat kurangnya keterampilan literasi informasi dan digital, tanpa memandang latar belakang profesi, pendidikan, status ekonomi, atau demografi. Lemahnya keterampilan literasi ini tidak hanya berdampak pada misinformasi, tetapi juga pada kualitas karya akademik yang dihasilkan. Signifikansi kemiskinan informasi ini dapat dilihat melalui berbagai kasus hoaks di tingkat nasional dan global.
Sebagai mahasiswa, kesuksesan akademik adalah tujuan utama, yaitu menguasai ilmu dari setiap mata kuliah, lulus tepat waktu, dan membangun karir yang cemerlang (Cachia dkk., 2018). Untuk mencapai tujuan tersebut, literasi informasi dan digital merupakan kunci. Seperti fungsi sebuah kunci, literasi informasi dan digital dapat membuka hambatan belajar yang sering dialami oleh pembelajar sarjana dan pascasarjana, seperti pembelajaran mandiri, berpikir kritis, dan kompetensi digital.
Berbeda dengan di sekolah, mahasiswa dituntut untuk siap belajar mandiri menggunakan berbagai sumber informasi. Setelah menemukan sumber, mereka tidak bisa langsung mengambil informasi tanpa menganalisis dan menyintesisnya dengan kritis. Selain itu, universitas mengharapkan mahasiswa terlatih dalam menggunakan berbagai perangkat teknologi untuk pembelajaran dan penelitian. Oleh karena itu, mahasiswa akan sangat kesulitan jika terus-menerus mengandalkan orang lain untuk menyelesaikan tugas-tugas akademiknya.
Ekspektasi ini adalah bagian dari kultur akademik yang harus dipenuhi oleh mahasiswa agar integritas akademik tetap terjaga. Representasi dari integritas ini terlihat dalam kesadaran, sikap, dan perilaku mahasiswa yang mengedepankan prinsip penelusuran, penggunaan, dan penyebaran informasi sesuai dengan etika akademik yang berlaku di tingkat institusi dan nasional.
Untuk program pascasarjana, keterampilan yang wajib dimiliki setelah lulus telah diatur oleh Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (silakan periksa versi terbarunya jika ada). Menurut Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Pengkajian Islam 2021-2024 (Edisi Revisi), lulusan S3 wajib mampu menyusun argumen dan solusi dalam bidang keilmuan, teknologi, atau seni berdasarkan pandangan kritis terhadap fakta, konsep, prinsip, atau teori yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etika akademik. Sementara itu, lulusan S2 diharapkan mampu mengambil keputusan dalam konteks menyelesaikan masalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menerapkan nilai-nilai humaniora.
Jika ditelaah lebih dalam, seruan ini menekankan beberapa kata kunci utama, yaitu pemikiran kritis, kredibilitas data, relevansi dengan tujuan pendidikan, dan pelibatan teknologi. Semua istilah kunci ini tercermin dalam literasi informasi dan digital, yang secara praktiknya mengembangkan sikap kritis dan etis dalam menggunakan informasi. Hal ini karena penyelesaian tugas akademik, seperti makalah, artikel, review, bahkan tesis dan disertasi, tidak terlepas dari aktivitas penelusuran, seleksi, dan sintesis sumber informasi yang relevan.
Penelitian yang melibatkan 4.105 mahasiswa dari 15 program studi menunjukkan bahwa literasi digital mempengaruhi kinerja akademik mahasiswa (Ardhiani dkk., 2023). Ketika individu sudah terampil dalam mencari dan menggunakan informasi di dunia digital, maka jumlah ahli informasi akan bertambah, sehingga mempercepat pembangunan indeks literasi bangsa.
- Rujukan:
- Ardhiani, O., Hadjam, M. N. R., & Fitriani, D. R. (2023). DIGITAL LITERACY AND STUDENT ACADEMIC PERFORMANCE IN UNIVERSITIES: A META-ANALYSIS. Journal of Psychology and Instruction, 7(3). https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JoPaI/article/view/68191 - - Britz, J. J. (2004). To Know or not to Know: A Moral Reflection on Information Poverty. Journal of Information Science, 30(3), 192–204. https://doi.org/10.1177/0165551504044666
- - Cachia, M., Lynam, S., & Stock, R. (2018). Academic success: Is it just about the grades? Higher Education Pedagogies, 3(1), 434–439. https://doi.org/10.1080/23752696.2018.1462096
- - Duarte, F. (2023, Maret 16). Amount of Data Created Daily (2024). Exploding Topics. https://explodingtopics.com/blog/data-generated-per-day