Romansa dalam Deretan Buku
Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, ada satu tempat yang tetap bertahan sebagai ruang sunyi bagi para pencari ilmu: yang bernama ‘Perpustakaan’. Setiap tanggal 14 Februari, Hari Pencinta Perpustakaan (Library Lover’s Day) menjadi momen bagi para pecinta literasi untuk mengapresiasi ruang-ruang penuh ilmu, nostalgia, dan imajinasi yang tak berbatas—sebuah romansa yang tak lekang oleh waktu.
Namun, di tengah dominasi era digital, apakah perpustakaan masih memiliki tempat dalam hati manusia modern?
Cerita Singkat, Awal Mula Hari Pencinta PerpustakaanBerdasarkan penelusuran informasi dari berbagai sumber, Perayaan ini berawal ketika Perpustakaan Negara Bagian New South Wales (NSW) memprakarsai inisiatif untuk mengajak masyarakat kembali mencintai perpustakaan. Tujuannya sederhana: meningkatkan apresiasi publik terhadap ruang-ruang literasi yang semakin terpinggirkan oleh dunia digital.
Dengan menempatkan Hari Pencinta Perpustakaan di tanggal yang sama dengan Valentine’s Day, kampanye ini ingin menunjukkan bahwa cinta terhadap ilmu pengetahuan sama bermaknanya dengan cinta antar manusia.
Seiring waktu, inisiatif ini menyebar ke berbagai negara lain, termasuk Amerika Serikat, Inggris, hingga Asia, mulai mengadopsi perayaan ini dengan mengadakan berbagai kegiatan, seperti diskusi buku, pameran arsip langka, hingga program edukasi berbasis komunitas.
Selain itu, kampanye-kampanye di media sosial dan kegiatan literasi di sekolah, universitas, hingga perpustakaan umum menjadi bentuk ekspresi dari semangat mencintai tempat-tempat yang menjadi gudang ilmu pengetahuan.
Perpustakaan: Romansa yang Tak Pernah UsangBagi banyak orang, perpustakaan lebih dari sekadar rak berisi buku. Ia adalah tempat di mana seseorang bisa tersesat dalam lembaran-lembaran cerita, menjelajah sejarah, hingga menemukan kembali dirinya sendiri. Perpustakaan menjadi rumah bagi para pencari makna—baik akademisi, penulis, hingga mereka yang sekadar ingin rehat dari hiruk-pikuk dunia.
Sebagai contoh, Perpustakaan Kongres di Amerika Serikat menyimpan lebih dari 173 juta koleksi, menjadikannya salah satu perpustakaan terbesar di dunia. Sementara itu di Indonesia, Perpustakaan Nasional Indonesia memiliki lebih dari 4 juta koleksi dan menjadi perpustakaan tertinggi di dunia dengan 27 lantai.
Di tengah era digital, banyak yang mempertanyakan apakah perpustakaan masih relevan. Namun, data menunjukkan bahwa perpustakaan tetap menjadi sumber pengetahuan yang tak tergantikan. Menurut laporan UNESCO di tahun 2022, lebih dari 2,6 miliar orang masih mengandalkan perpustakaan untuk akses informasi, terutama di negara-negara berkembang.
Perpustakaan, Lebih dari Sekadar Rak Buku
Meski tantangan terus menghadang, upaya untuk mempertahankan peran perpustakaan sebagai pusat literasi dan budaya tidak surut. Banyak perpustakaan modern kini menyediakan ruang diskusi, seminar, hingga fasilitas teknologi modern untuk mendukung pembelajaran.
Sebagai contoh, Perpustakaan Kota Helsinki di Finlandia telah bertransformasi menjadi pusat inovasi digital, lengkap dengan studio rekaman, ruang kerja bersama, hingga layanan cetak 3D. Sementara itu, di Jepang, perpustakaan Minna no Mori Gifu Media Cosmos menawarkan pengalaman membaca yang lebih imersif dengan arsitektur futuristik dan teknologi interaktif.
Di Indonesia, beberapa perpustakaan juga mulai beradaptasi. Perpustakaan Nasional RI kini memiliki layanan digital yang memungkinkan akses ke lebih dari 1,5 juta koleksi buku elektronik. Sementara itu, inisiatif seperti Gerakan Pustaka Bergerak menghadirkan akses literasi ke daerah-daerah terpencil dengan menggunakan kendaraan keliling dan bahkan perahu pustaka.
Tak kalah menarik, di Kampus UIN Jakarta. Siapa bilang Perpustakaan UIN Jakarta cuman tempat buku yang berdebu? Berbagai kegiatan menarik, dari seminar, diskusi, bedah buku, hingga kelas literasi informasi tersaji di Perpustakaan UIN Jakarta. Selain beragam kegiatan, Perpustakaan UIN Jakarta dalam meningkatkan akses informasi, memperkenalkan ‘Touch & Go Mobile Library’ – Platform digital yang memanjakan civitas akademika UIN Jakarta dalam mengakses bahan bacaan kapan saja dan di mana saja -langsung dari gadget smarphone.
Pada akhirnya, Hari Pencinta Perpustakaan bukan sekadar perayaan, tetapi pengingat bahwa di balik setiap lembaran buku, ada kisah yang mengubah dunia. Dalam era digital yang serba cepat, perpustakaan tetap menjadi tempat bagi mereka yang ingin berpikir lebih dalam, menemukan inspirasi, dan menjalin hubungan dengan masa lalu serta masa depan. *RMr
Jadi, di hari ini, mengapa tidak kembali ke perpustakaan? Di antara rak-rak buku yang sunyi, mungkin ada satu buku yang akan mengubah hidup Anda selamanya.
Untuk update berita dan informasi lebih lanjut, bisa di akses: