Refleksi Literasi Pustakawan UIN Jakarta: 'Ketika Buku Menjadi Inspirasi Kartini'
Gd. Perpustakaan UIN Jakarta – Dalam semarak peringatan Hari Kartini —21 April 2025, Pustakawan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengajak masyarakat untuk merenungkan kembali peran literasi dan buku dalam membentuk pemikiran Raden Ajeng Kartini —sosok pelopor emansipasi perempuan Indonesia yang tak lekang oleh waktu.
Melalui refleksi yang bertemakan “Ketika Buku Menjadi Inspirasi Kartini”, yang ditulis oleh Bapak Agus Rifai, Ph,D., —Kepala Perpustakaan UIN Jakarta, ini bisa menjadi pengingat bahwa transformasi perempuan Indonesia tidak lepas dari kekuatan membaca dan menulis.
----
Senin, 21 April 2025 - Siapa sangka, seorang perempuan muda dari Jepara yang hidup lebih dari seabad lalu bisa menjadi simbol perubahan dan inspirasi bagi jutaan perempuan Indonesia? Dialah Raden Ajeng Kartini —sosok yang kita kenal hari ini sebagai pelopor emansipasi perempuan. Namun, di balik pemikiran cemerlangnya, ada satu hal yang sering luput kita perhatikan: peran buku dalam membentuk gagasan dan keberanian Kartini.
Kartini memang hidup dalam dunia yang penuh batas. Sebagai anak bangsawan Jawa, ia mengalami masa “pingitan” —di mana perempuan tidak diizinkan keluar rumah bebas sebelum menikah. Tapi, di balik tembok itu, pikirannya melanglang buana. Caranya? Dengan membaca.
Buku-Buku yang Membentuk Kartini
Salah satu buku paling berpengaruh dalam hidup Kartini adalah Max Havelaar karya Multatuli (nama pena dari Eduard Douwes Dekker). Buku ini mengisahkan tentang ketidakadilan dan penderitaan rakyat pribumi akibat sistem kolonial Belanda. Meski ditulis oleh orang Belanda, isinya justru sangat kritis terhadap penjajahan di tanah Hindia.
Kartini sangat tersentuh oleh buku ini. Dalam suratnya kepada teman pena di Belanda, ia menulis: "Multatuli, saya mencintainya, mencintainya, mencintainya. Karena dialah saya belajar mengerti arti keadilan." Selain Max Havelaar, Kartini juga membaca berbagai buku dan artikel lain yang membuka wawasannya. Di antaranya:
- De Stille Kracht karya Louis Couperus, yang membahas benturan antara budaya Barat dan Timur.
- Majalah De Hollandsche Lelie, majalah perempuan Belanda yang berisi artikel tentang pendidikan, kesetaraan, dan kemajuan perempuan.
- Tulisan-tulisan Rousseau dan Havelock Ellis, yang memperkenalkan ide-ide tentang kebebasan individu dan hak asasi manusia.
Semua bacaan ini memperkaya pemikiran Kartini, dan membuatnya sadar bahwa pendidikan adalah pintu keluar dari keterbelakangan. Dari buku-buku itulah pandangan Kartini mulai terbuka. Ia jadi tahu bahwa perempuan di negara lain bisa sekolah, bekerja, bahkan berpendapat di depan umum. Hal ini membuatnya bertanya-tanya, “Kenapa perempuan di sini harus diam dan hanya jadi pelengkap?” Dalam salah satu suratnya, Kartini pernah bilang:
"Aku ingin sekali menjadi orang yang berpengetahuan luas. Aku ingin membaca, belajar, berpikir dan bekerja seperti laki-laki." —Kartini kepada Nyonya Abendanon, 25 Mei 1899 (dikutip dari Habis Gelap Terbitlah Terang, terjemahan Armijn Pane)
Ia lalu menuangkan semua pemikirannya dalam surat-surat kepada sahabat-sahabat penanya di Belanda, seperti Rosa dan J.H. Abendanon. Surat-surat itu kemudian dibukukan menjadi Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), yang kini menjadi buku legendaris dan warisan intelektual Kartini bagi bangsa Indonesia.
Buku sebagai Lentera Perubahan
Apa yang Kartini lakukan sebenarnya sangat relevan dengan dunia kita hari ini. Ia tidak membawa senjata, tidak memimpin demonstrasi, tapi ia melawan lewat kata dan gagasan. Ia percaya bahwa perempuan harus punya kesempatan yang sama untuk belajar dan berpikir. Dan untuk itu, buku adalah kunci. Di tengah keterbatasan ruang gerak, buku membuat Kartini tetap bebas. Bebas untuk bermimpi, untuk bertanya, bahkan untuk menggugat. Dan dari mimpi-mimpi itu, lahirlah perubahan yang kita rasakan sampai sekarang —mulai dari akses pendidikan bagi perempuan, hingga kebebasan perempuan untuk bersuara dan menentukan arah hidupnya sendiri.
Dari Kartini untuk Kita Hari Ini
Kartini telah membuktikan bahwa sebuah buku bisa menyalakan obor perubahan. Hari ini, saat kita punya akses lebih mudah terhadap literasi, media digital, dan pendidikan, semangat itu seharusnya bisa kita lanjutkan. Bukan hanya dengan membaca, tapi juga dengan berpikir kritis dan berbicara untuk hal-hal yang penting.
Kartini muda dari Jepara telah menginspirasi banyak orang hanya dengan membaca dan menulis. Bayangkan, apa yang bisa kita lakukan hari ini —dengan lebih banyak kebebasan, lebih banyak akses, dan lebih banyak suara?
Selamat Hari Kartini. Mari terus menyalakan lentera literasi dan keberanian —seperti Kartini pernah lakukan, hanya dengan sebuah buku di tangannya. *AR
Refleksi ini mengajak kita semua —mahasiswa, pendidik, dan masyarakat luas untuk menyalakan kembali semangat membaca dan berpikir kritis seperti Kartini. Buku bukan sekadar bacaan, melainkan pelita perubahan. Buku bisa membebaskan, menyadarkan, dan menggerakkan.
Untuk update berita dan informasi lebih lanjut, bisa di akses: