Kelas Literasi: Bedah Grammarly, Perlukah Penulis Menggunakannya?
Ruang Literasi, Gd. Perpustakaan UIN Jakarta – Dalam era digital sekarang, teknologi semakin memudahkan dalam berbagai aspek kehidupan, begitu pula dengan dunia kepenulisan akademik. Di era digital ini, banyak aplikasi yang membantu proses menulis, salah satunya adalah Grammarly. Aplikasi pengecek tata bahasa ini telah digunakan jutaan pengguna di seluruh dunia, terutama bagi akademisi dan profesional yang sering menulis dalam bahasa Inggris. Namun, seberapa besar peran Grammarly dalam meningkatkan kualitas tulisan? Perlukah penulis bergantung pada aplikasi ini?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi sorotan utama dalam Kelas Literasi Perpustakaan UIN Jakarta, -Jum’at, 21 Februari 2025- yang kali ini mengangkat tema "Bedah Grammarly: Perlukah Penulis Menggunakannya?" Acara ini menghadirkan Nisrina, seorang analis yang mendalami penggunaan Grammarly dalam dunia akademik dan kepenulisan.
Dalam sesi ini, Nisrina menjelaskan bahwa Grammarly bukan sekadar alat koreksi tata bahasa, tetapi juga menawarkan fitur yang membantu penulis menyusun teks lebih efektif. Salah satu fitur unggulannya adalah tone detector, yang memungkinkan pengguna menyesuaikan intonasi tulisan agar sesuai dengan konteks dan audiens.
"Dalam bahasa Inggris, ada banyak kata dengan bentuk serupa tetapi memiliki makna berbeda. Dengan Grammarly, penulis bisa memastikan bahwa pesan yang disampaikan benar-benar sesuai dengan maksudnya," jelas Nisrina.
Selain itu, Grammarly membagi koreksinya dalam empat zona utama, yaitu grammar (tata bahasa), clarity (kejelasan), engagement (keterlibatan pembaca), dan delivery (penyampaian). Dengan pendekatan ini, penulis tidak hanya dibantu dalam menghindari kesalahan teknis, tetapi juga dalam meningkatkan daya tarik tulisannya.
Meski menawarkan berbagai kemudahan, Grammarly tetap memiliki keterbatasan. Salah satu pertanyaan yang muncul dalam diskusi adalah: Apakah Grammarly cukup canggih untuk menggantikan editor manusia?
Salahsatu peserta, Ibu Lolytasari -Pustakawan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) menyampaikan bahwa meskipun Grammarly sangat membantu, penulis tetap harus memahami dasar-dasar tata bahasa agar tidak sepenuhnya bergantung pada aplikasi.
"Grammarly memang bisa menjadi alat bantu yang baik, tapi kita tetap perlu mengembangkan kemampuan menulis sendiri. Jangan sampai kita terlalu bergantung dan kehilangan kreativitas dalam menulis," ujar Ibu Lolytasari.
Diakhir sesi, Nisrina mengingatkan bahwa “Grammarly dapat menjadi alat bantu yang efektif, tetapi bukan pengganti pemahaman mendalam tentang bahasa. Teknologi dapat membantu, tetapi keterampilan menulis tetap perlu diasah.” Tutup Nisrina.
Dengan adanya Kelas Literasi ini, para peserta -baik pustakawan maupun pengelola perpustakaan, diajak untuk lebih memahami bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan dalam kepenulisan, tanpa melupakan pentingnya keterampilan menulis yang baik.
Jadi, Sobat Perpus, menurut kalian, perlukah penulis menggunakan Grammarly? Ataukah menulis tetap harus mengandalkan insting dan pemahaman bahasa yang kuat? *RMr
Untuk update berita dan informasi lebih lanjut, bisa di akses: